Ilustrasi: Mik |
Seorang perampok tidak memiliki sisi kedamaian yang membuatnya nyaman dan lega. Seorang perampok akan dipenuhi kegelisahan dan ketakutan atas apa yang akan menimpanya. Jadi, tidak mungkin seorang perampok menikmati keperampokannya dengan tenang. Sedikit gemerisik dedaunan yang rontok digulung angin, mungkin akan membuatnya terkejut. Apalagi suara dentuman keras, tentu akan membuatnya syok. Padahal… hanya suara ban yang kempes. Begitu juga dengan hidup. Keliaran akan membuat diri kita tidak nyaman. Kita dihadapkan pada medan yang luas tak bertepi. Berjalan tak ada tujuan, berlari malah semakin tak terkendali. Bingung, kosong, bego, marah, sedih dan sederet rasa yang menusuk-nusuk kalbu.
Di saat si pengejar menikung, kita pun bergerak cepat meremas
waktu, membangun benteng hidup yang kokoh, memeras energi tanpa batas, berpikir
di luar landasan, berpacu semalam suntuk dalam keliaran padang Afrika. Kita
telah melecut hidup dalam belenggu keras. Merantai jiwa di tiang gantungan. Karena
seperti perampok, kita tidak mungkin menikmati hari-hari indah dalam kenyamanan
yang mengancam jiwa. Kegelisahan
senantiasa menghantui. Bahkan pada bayangan kita sendiri menjadi momok yang
menakutkan.
Keliaran hidup membuat derita tak bertepi. Membungkus rasa
pada banyak hal yang seakan mengancam kita, meneror dalam berbagai arah
sehingga kita memerlukan biduk penyelamat atau benteng hebat penangkis semua
serangan. Tentu banyaklah pengorbanan yang harus dipertaruhkan untuk tujuan
tersebut. Menguras banyak materi dan energi.
Pengorbanan besar-besaran itu sayangnya tidak membuahkan
hasil. Usaha yang luar biasa itu sia-sia. Karena biduk yang kita desain ataupun
benteng kokoh yang kita bangun terdapat dalam dimensi keliaran yang sama. Keliaran
alami selama wujud kita masih bersentuhan dengan tanah, pembauan kita masih sanggup
membedakan kelezatan dan lawanannya. Di sanalah derita meminta jatah kewujudannya
atas ciptaan Tuhan. Lantas, mungkinkah keliaran itu dihilangkan? Tentu saja!
Satu-satunya jalan menghindari terror hidup yang mengikis kedamaian batin
hanyalah come back to the Creator.
Dengan bahasa lain ‘menyerahlah’ terhadap apa pun keputusan Sang Pengadil. Dia
yang memiliki alam semesta tentulah mengerti keadaan kita sedetilnya. Menyeret
diri pada-Nya tanpa keterpaksaan adalah kemestian atas kelelahan keliaran yang
sebelumnya kita lalui. Penyerahan yang mutlak tidak lagi dilecut derita.
Penyerahan diri seutuhnya serta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya obsesi akan
berefek pada matinya sebungkus rasa yang membingkai hidup dalam kemasygulan.
Dunia rasa telah berperan terlalu dominan sehingga matilah fungsi hati untuk
megingat Sang Pencipta. Kekeruhan jiwa membuat hidup mengejar apa yang tidak
semestinya. Bayang-bayang selamanya tetap sama. Tidak ada sebab akibat yang
mungkin ditimbulkannya. Bayangan pohon yang terpacak menutupi jalan, tentu saja
tidak bisa menghentikan si pengendara. Jadi, kita telah diliarkan oleh
bayang-bayang yang tentulah tidak memiliki rupa dan daya. Bayang-bayang telah
membelenggu dan menyiksa jiwa kita selamanya. Sangat aneh, tentu aneh, bila
kapan bayang-bayang memiliki kekuasaan?
Seseorang yang terlalu jauh menuju Barat, tentu dia telah
meninggalkan Timur sejauh itu juga. Seandainya keliaran telah menunggangi hidup
kita tanpa kendali, semestinya kita telah memasang tabir tebal dengan Sang Maha
Benar. Tidak ada jalan lain memperbaikinya selain menyerah. Takluk adalah
bentuk penghambaan sejati terhadap-Nya. Mudah-mudahan bayang-bayang itu semakin
luntur dengan hadirnya mentari di hati kita.