Cerita dan Ilustrasi: Mikmilia |
Singkat kata, visi dan misi itu telah menyebabkan kreatifitas pencurian mereka
meroket tajam. Dalam dua bulan terakhir, kampung damai yang dulunya mudah
dijumpai ternak bermanja-manja di sepanjang jalan, sapi-kerbau yang parkir
sembarang tempat, ayam-bebek yang suka kumpul membuat komunitas-komunitas tanpa
nama, mendadak berkurang drastis. Lenguh sapi di kandang belakang rumah warga
pun jadi jarang terdengar. Suara kukuruyuk si Jago yang biasanya lantang membelah
langit pagi pun hampir tak terdengar. Sawah luas yang biasanya dipergunakan
kawanan bebek untuk mengais makanan alami guna mencukupi asupan nutrisi mereka
kini menjadi lengang, tanpa terdengar keluh kesahnya yang lucu.
Malam itu purnama merekah di langit yang terang. Pendar
cahayanya sangat indah saat tertimpa atap seng rumah warga. Bagai kemilau batu
permata. Sementara di kepadatan semak yang sedikit menyebelah dari kampung,
kawanan tujuh sekawan sedang rebahan sambil menatap rembulan yang membeliak ke
arah mereka.
“Melihat bulan yang indah dan bundar begini, rasanya aku
ingin mengulang nostalgia kita dulu, saat pertama kali menekuni bisnis ini.
Bukankah waktu itu kita berhasil menangkap ayam sebanyak jumlah kita?” Ketua
maling menoleh ke arah kawan-kawannya.
“Ya, Ketua, saat itu kita berhasil menangkap ayam jago
terbaik yang ada di kampung kita,” sahut Ifin,
maling terjangkung di antara kawan-kawannya.
“Dan malam itu kita menyantap lahap ayam-ayam itu untuk
melaunching bisnis baru yang kita geluti,” timpal Yantui, pria berperut buncit yang senang kuliner.
“Betul, aku masih ingat semua. Perasaan baru kemarin, deh,” ujar
Meun bersemangat. Dia yang
berperawakan tinggi kokoh bangkit dari tidur-tidurannya.
“Kau kan yang menghabiskan jatahku?” tunjuknya pada Yantui
yang seketika mengembangkan senyum manisnya sehingga kedua pipi penuhnya ikut
terangkat ke atas.
“Urusan perut siapa lagi jagonya kalau bukan dia,” tambah Maman yang sedari tadi diam saja. Dia
ikut-ikutan bangkit dan duduk beralaskan ilalang sambil menjulurkan kakinya ke
depan.
“Eh, Ket, apa maksudmu sih mengungkit masa lalu kita itu?
Aku tak percaya kamu tak punya tujuan apa-apa?” tanya Udin yang sedari tadi menilai Ketua mereka punya maksud tersembunyi
di balik nostalgia mereka.
“Kau memang mudah menebakku, Din. Aku memang punya maksud
tersendiri. Bayangkan, di saat purnama begitu indahnya mekar di tengah-tengah
langit, kita hanya menatapnya saja tanpa ada yang kita kerjakan. Tidak seru,
bro! Mending kita mengulang lagi nostalgia kita, bagai mana?”
“Aku setuju!” jawab Jokwir
ikut nimbrung. “Tapi, sebaiknya hukuman bagi yang tidak berhasil mendapatkan
tangkapan dihapuskan saja mengingat kita sedang bukan dalam agenda dinas,” ujarnya
memberi usul.
“Mana bisa? Yang namanya maling tetap maling, yang namanya
hukum tetap hukum, tidak ada alasan sedang di luar dinas kek, kalau mau jadi
maling sukses harus menerapkan hukum yang tegas dan disiplin,” kata Ketua
menegaskan aturan main yang biasanya dia terapkan dalam setiap aksi mereka.
“Jadilah maling yang berprinsip! Tidak asal colek sana-colek
sini, ntar kau dicolek polisi ke penjara, baru tahu rasa kau!” Ketua mendelik
ke arahnya. Jokwir yang berbadan kurus kerempeng terdiam dan kecut.
“Sudahlah, diterima aja, Jok, aku yakin kok kau pasti lebih
gesit daripada kami. Tuh kan, hukum aja berani kautentang, kau memang didesain
untuk jadi pemenang, bukan pecundang,” celoteh Udin memberi semangat. Setelah
dibujuk dengan beragam cara, akhirnya dia pun setuju.
Jadilah malam itu kawanan Pencuri Tujuh berpencar ke tujuh
penjuru bumi untuk mengemban tugas mulia kelompok mereka. Tugas itu sebenarnya
enteng saja, hanya menangkap ayam. Tapi setelah dijalani di lapangan, dengan
kelihaian mata musang mereka, dengan kegesitas ceurapee (binatang lincah
pemangsa ayam yang gesit tiada dua) yang mereka miliki, tahulah mereka ternyata
stok ayam jago di kampung mereka sudah hampir punah. Kandang-kandang cuma
berisi ayam betina dengan bayi-bayinya yang belum akil balig (masih belum boleh
disikat menurut undang-undang mereka). Kalaulah ada tentunya di restoran ayam
tangkap, tapi itu tidak mungkin karena Ketua mereka sangat benci makan ayam
tangkap karena harus bersusah-payah menyapu sampah dedaunannya terlebih
dahulu.’ Pokoknya menyebalkan,’ begitu selalu ucapannya saat menu mereka di
restoran ada ayam tangkapnya. Wah, wah, wah, buntu jadinya. Baru pertama kali
inilah kawanan ini merasa bego sendiri, merasa tak berdaya dan tak dapat
melakukan apa-apa, skakmat. Sementara di
lain sisi mengakui kekalahan adalah prinsip yang paling pantang dilakukan.
Pencuri sukses bukanlah yang mengalah dan kalah tapi yang mencoba 1001 cara
untuk menggapai impiannya, begitu bunyi petuah bijak yang selalu Ketua
dendangkan di telinga mereka. Mau tak
mau, mereka harus mendapatkan ayam-ayam itu. Bagai manapun caranya!
Baca Juga:
Baca Juga:
- Cerita Legendaris Pencuri Tujuh, Tercuri Part 2
- Cerita Siti Geulima dan Legenda 2 Paya di Padang Tiji
- Panglima Perang Kerajaan Aceh ini Menolak Dijadikan Sultan
- Viral dan Misterius! Di Sinilah Kampung Suku Mante