'Menyerahlah!'

https://meucensemua.blogspot.com
Ilustrasi: Mik

Seorang perampok tidak memiliki sisi kedamaian yang membuatnya nyaman dan lega. Seorang perampok akan dipenuhi kegelisahan dan ketakutan atas apa yang akan menimpanya. Jadi, tidak mungkin seorang perampok menikmati keperampokannya dengan tenang. Sedikit gemerisik dedaunan yang rontok digulung angin, mungkin akan membuatnya terkejut. Apalagi suara dentuman keras, tentu akan membuatnya syok. Padahal… hanya suara ban yang kempes.  Begitu juga dengan hidup. Keliaran akan membuat diri kita tidak nyaman. Kita dihadapkan pada medan yang luas tak bertepi. Berjalan tak ada tujuan, berlari malah semakin tak terkendali. Bingung, kosong, bego, marah, sedih dan sederet rasa yang menusuk-nusuk kalbu.

Di saat si pengejar menikung, kita pun bergerak cepat meremas waktu, membangun benteng hidup yang kokoh, memeras energi tanpa batas, berpikir di luar landasan, berpacu semalam suntuk dalam keliaran padang Afrika. Kita telah melecut hidup dalam belenggu keras. Merantai jiwa di tiang gantungan. Karena seperti perampok, kita tidak mungkin menikmati hari-hari indah dalam kenyamanan yang mengancam jiwa.  Kegelisahan senantiasa menghantui. Bahkan pada bayangan kita sendiri menjadi momok yang menakutkan.

Keliaran hidup membuat derita tak bertepi. Membungkus rasa pada banyak hal yang seakan mengancam kita, meneror dalam berbagai arah sehingga kita memerlukan biduk penyelamat atau benteng hebat penangkis semua serangan. Tentu banyaklah pengorbanan yang harus dipertaruhkan untuk tujuan tersebut. Menguras banyak materi dan energi.

Pengorbanan besar-besaran itu sayangnya tidak membuahkan hasil. Usaha yang luar biasa itu sia-sia. Karena biduk yang kita desain ataupun benteng kokoh yang kita bangun terdapat dalam dimensi keliaran yang sama. Keliaran alami selama wujud kita masih bersentuhan dengan tanah, pembauan kita masih sanggup membedakan kelezatan dan lawanannya. Di sanalah derita meminta jatah kewujudannya atas ciptaan Tuhan. Lantas, mungkinkah keliaran itu dihilangkan? Tentu saja! Satu-satunya jalan menghindari terror hidup yang mengikis kedamaian batin hanyalah come back to the Creator. Dengan bahasa lain ‘menyerahlah’ terhadap apa pun keputusan Sang Pengadil. Dia yang memiliki alam semesta tentulah mengerti keadaan kita sedetilnya. Menyeret diri pada-Nya tanpa keterpaksaan adalah kemestian atas kelelahan keliaran yang sebelumnya kita lalui. Penyerahan yang mutlak tidak lagi dilecut derita. Penyerahan diri seutuhnya serta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya obsesi akan berefek pada matinya sebungkus rasa yang membingkai hidup dalam kemasygulan. Dunia rasa telah berperan terlalu dominan sehingga matilah fungsi hati untuk megingat Sang Pencipta. Kekeruhan jiwa membuat hidup mengejar apa yang tidak semestinya. Bayang-bayang selamanya tetap sama. Tidak ada sebab akibat yang mungkin ditimbulkannya. Bayangan pohon yang terpacak menutupi jalan, tentu saja tidak bisa menghentikan si pengendara. Jadi, kita telah diliarkan oleh bayang-bayang yang tentulah tidak memiliki rupa dan daya. Bayang-bayang telah membelenggu dan menyiksa jiwa kita selamanya. Sangat aneh, tentu aneh, bila kapan bayang-bayang memiliki kekuasaan?

Seseorang yang terlalu jauh menuju Barat, tentu dia telah meninggalkan Timur sejauh itu juga. Seandainya keliaran telah menunggangi hidup kita tanpa kendali, semestinya kita telah memasang tabir tebal dengan Sang Maha Benar. Tidak ada jalan lain memperbaikinya selain menyerah. Takluk adalah bentuk penghambaan sejati terhadap-Nya. Mudah-mudahan bayang-bayang itu semakin luntur dengan hadirnya mentari di hati kita.


Riwang

https://meucensemua.blogspot.com
Ilustrasi: Meme




















Malam kelam basah
Dalam gerimis ukirkan waktu
Bahwa pergantian hari telah mulai
Dari lambai nyiur di tepian Meunasah

Sepi menyeruak hati
Bisu membekap kalbu
Darah telah membeku
Semua dalam gerak waktu

Kosong datang menyapa
Hampa membisik jiwa
Tiada melabrak ke muka
Setitik noktah kau ternyata

Sekerat salju lebih berupa
Sehelai rambut masih sangat nyata
Setarikan kuas di kanvas terlalu berwarna
Sesungguhnya kau (entahlah ada...)

Meraunglah di puncak Halimon
Merataplah di Gua Krueng
Bersendalah di warung kopi
Kata-kata ternyata tiada

Senang-susah hanya rasa
Sakit-perih cuma nama
Saat tabir tersingkap
Hanya butir-butir embun bening basah
*****

Kamus:
Riwang= Kembali
Meunasah= Surau
Halimon= Bukit penuh mistis di Tangse
Gua Krueng= Gua besar yang sebagian tidak ditemukan lagi di perbatasan Laweung-Batee